27-01-2016, 11:52 PM
Wah bahaya juga nih kalau tanah longsor
======
Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (PAPPIPTEK).
Mitigasi Bencana: Aman, Tantangan Kereta Cepat
Ketika gempa berkekuatan M 9 mengguncang Tohoku, pesisir timur Jepang bagian utara, 11 Maret 2011 sore, setidaknya 27 kereta cepat beroperasi di kawasan itu, dua di antaranya kereta model terbaru yang melaju dengan kecepatan 270 kilometer per jam. Hanya sekitar 10 detik sebelum gelombang gempa menghantam, kereta-kereta itu berhenti.
Melalui sistem deteksi dini gempa terintegrasi dengan pengereman darurat, tak satu pun kereta cepat yang dikenal sebagai Shinkansen atau kereta peluru itu terguling. Itu menambah panjang kisah sukses Jepang menjaga rekor keselamatan Shinkansen.
Sejak dioperasikan pada 1964, jaringan kereta Shinkansen telah mengangkut 10 miliar penumpang pada 2014. Tak sekali pun ada kecelakaan fatal akibat kereta anjlok atau tabrakan. Satu orang tewas karena terjepit pintu kereta dan beberapa kali kasus bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta.
Bagi negara produsen utama mobil dunia itu, kereta menjadi jantung utama sistem transportasi. Setiap hari, jalur kereta cepat Shinkansen sepanjang 2.391 km melayani 1.144 perjalanan di hampir seluruh Jepang.
Meski amat terlambat, Indonesia mulai membenahi jaringan kereta. Setelah membangun kereta massal atau MRT di Ibu Kota Jakarta sejak tahun lalu, kita mulai membangun kereta cepat, menghubungkan jarak 142 km Jakarta-Bandung. Peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo dilakukan pekan lalu.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia memilih menggandeng Tiongkok dibandingkan dengan Jepang di proyek kereta cepat. Hal itu sempat menuai kontroversi dan merenggangkan hubungan diplomasi Jepang dan Indonesia.
Tiongkok menjadi raksasa baru dunia dalam teknologi dan infrastruktur, termasuk pengembangan kereta. Sejak dibangun pada 2007, high-speed rail (HSR) di Tiongkok tumbuh pesat. Kini, negeri itu punya jalur kereta cepat lebih dari 17.000 km, terpanjang di dunia. Jika pada 2007 mengangkut 237.000 penumpang, pada 2014 mengangkut 2,49 juta penumpang.
Rintisan awal kereta cepat di Tiongkok itu didukung perusahaan multinasional, seperti Siemens dari Korea, Bombardier dari Perancis, dan perusahaan Jepang yang membangun Shinkansen, Kawasaki Heavy Industries. Klausul transfer teknologi memungkinkan Tiongkok mendesain sendiri kereta cepat kecepatan 380 km per jam, yang kini tercepat di dunia. Belakangan, Tiongkok menjadi negara pertama yang menjalankan kereta cepat teknologi magnetically levitated (magnev) dengan kecepatan maksimum 431 km per jam.
Namun, ada celah pada teknologi kereta cepat Tiongkok. Baru empat tahun beroperasi, terjadi kecelakaan fatal kereta cepat di Tiongkok pada 23 Juli 2011 saat dua kereta bertabrakan di Distrik Lucheng, menewaskan 40 orang dan 192 orang terluka. Hasil investigasi menemukan, hal itu dipicu sambaran petir yang mematikan sistem kereta cepat, lalu kereta lain menabrak dari belakang.
Risiko bencana
Meski kita pilih Tiongkok untuk mengembangkan kereta cepat, tak ada salahnya belajar dari Jepang tentang cara menjaga rekor keamanan Shinkansen, terutama dari bencana alam.
Kondisi geologi Indonesia mirip Jepang. Dua negara itu diimpit zona tumbukan lempeng benua, penyebab banyak gunung api aktif dan gempa bumi. Terkait bencana hidrometeorologi, jika Jepang rutin terancam angin topan, Indonesia rentan gerakan tanah.
Gempa dan longsor itu menjadi ancaman serius kereta cepat Jakarta-Bandung. Maka, antisipasi dua ancaman itu mesti jadi satu paket dengan pembangunannya. Apalagi, di jalur kereta itu akan dibangun kota-kota baru.
Menurut ahli bencana Surono, rel yang akan dibangun termasuk zona rentan longsor. Tanahnya lempung mengembang sehingga butuh rekayasa struktur agar bangunan aman. "Tanpa mitigasi longsor, ambruknya bangunan pada kasus Hambalang bisa terulang," ucapnya.
Ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menekankan pentingnya sistem peringatan dini gempa. Risiko gempa dari kereta cepat tak bisa diabaikan. "Bayangkan jika kereta cepat melaju, lalu ada gempa. Bisa berakibat kecelakaan fatal," ujarnya.
Kunci keamanan Shinkansen Jepang ialah, integrasi dengan sistem deteksi dini gempa, urgent earthquake detection and system (UrEDAS). Sistem yang dibangun sejak 1996 itu bisa mendeteksi dini gelombang gempa, mengirim informasinya ke stasiun kereta, lalu otomatis mengaktifkan sistem pengereman darurat.
Prinsipnya, gempa punya dua gelombang, yakni tremor pendahuluan atau gelombang-P (primary waves) dan gelombang-S (secondary waves). Begitu gempa, gelombang-P menjalar lebih cepat, 5 km per detik, sifatnya tak merusak. Adapun gelombang-S lebih lambat, 3 km per detik, tetapi amat merusak. Informasi dari gelombang-P menjadi dasar sistem informasi dini gempa (EEW). Semakin jauh lokasi dari sumber gempa, beda waktu kedatangan gelombang-S dan gelombang-P kian tinggi.
Deputi Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bidang Geofisika, Masturyono, mengatakan, ancaman gempa pada kereta cepat bisa dari sesar Cimandiri yang menerobos jalur itu, selain sejumlah sesar lokal lain. "Potensi gempa M 6 atau lebih kecil, tetapi amat dekat dengan obyeknya," katanya. Karena sumber gempa amat dekat, sistem EEW mungkin tak memadai untuk menghentikan kereta tepat waktu.
Ancaman gempa bisa dari zona subduksi kekuatan lebih dari M 8,5. Jarak sumber gempa jauh sehingga sistem EEW untuk pengereman darurat. "BMKG belum diajak bicara mengenai mitigasi gempa kereta cepat. Kami akan paparkan kajian awal risiko ke Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan," ujarnya.
Ada tiga alternatif pembangunan EEW di Indonesia tergantung anggaran BMKG. Pertama, pengembangan alat yang akan dihibahkan Jepang akhir 2016. "Meski ada alat hibah, EEW belum bisa beroperasi karena harus dilengkapi sistem otomatisasi," ujarnya.
======
Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (PAPPIPTEK).
Mitigasi Bencana: Aman, Tantangan Kereta Cepat
Ketika gempa berkekuatan M 9 mengguncang Tohoku, pesisir timur Jepang bagian utara, 11 Maret 2011 sore, setidaknya 27 kereta cepat beroperasi di kawasan itu, dua di antaranya kereta model terbaru yang melaju dengan kecepatan 270 kilometer per jam. Hanya sekitar 10 detik sebelum gelombang gempa menghantam, kereta-kereta itu berhenti.
Melalui sistem deteksi dini gempa terintegrasi dengan pengereman darurat, tak satu pun kereta cepat yang dikenal sebagai Shinkansen atau kereta peluru itu terguling. Itu menambah panjang kisah sukses Jepang menjaga rekor keselamatan Shinkansen.
Sejak dioperasikan pada 1964, jaringan kereta Shinkansen telah mengangkut 10 miliar penumpang pada 2014. Tak sekali pun ada kecelakaan fatal akibat kereta anjlok atau tabrakan. Satu orang tewas karena terjepit pintu kereta dan beberapa kali kasus bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta.
Bagi negara produsen utama mobil dunia itu, kereta menjadi jantung utama sistem transportasi. Setiap hari, jalur kereta cepat Shinkansen sepanjang 2.391 km melayani 1.144 perjalanan di hampir seluruh Jepang.
Meski amat terlambat, Indonesia mulai membenahi jaringan kereta. Setelah membangun kereta massal atau MRT di Ibu Kota Jakarta sejak tahun lalu, kita mulai membangun kereta cepat, menghubungkan jarak 142 km Jakarta-Bandung. Peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo dilakukan pekan lalu.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia memilih menggandeng Tiongkok dibandingkan dengan Jepang di proyek kereta cepat. Hal itu sempat menuai kontroversi dan merenggangkan hubungan diplomasi Jepang dan Indonesia.
Tiongkok menjadi raksasa baru dunia dalam teknologi dan infrastruktur, termasuk pengembangan kereta. Sejak dibangun pada 2007, high-speed rail (HSR) di Tiongkok tumbuh pesat. Kini, negeri itu punya jalur kereta cepat lebih dari 17.000 km, terpanjang di dunia. Jika pada 2007 mengangkut 237.000 penumpang, pada 2014 mengangkut 2,49 juta penumpang.
Rintisan awal kereta cepat di Tiongkok itu didukung perusahaan multinasional, seperti Siemens dari Korea, Bombardier dari Perancis, dan perusahaan Jepang yang membangun Shinkansen, Kawasaki Heavy Industries. Klausul transfer teknologi memungkinkan Tiongkok mendesain sendiri kereta cepat kecepatan 380 km per jam, yang kini tercepat di dunia. Belakangan, Tiongkok menjadi negara pertama yang menjalankan kereta cepat teknologi magnetically levitated (magnev) dengan kecepatan maksimum 431 km per jam.
Namun, ada celah pada teknologi kereta cepat Tiongkok. Baru empat tahun beroperasi, terjadi kecelakaan fatal kereta cepat di Tiongkok pada 23 Juli 2011 saat dua kereta bertabrakan di Distrik Lucheng, menewaskan 40 orang dan 192 orang terluka. Hasil investigasi menemukan, hal itu dipicu sambaran petir yang mematikan sistem kereta cepat, lalu kereta lain menabrak dari belakang.
Risiko bencana
Meski kita pilih Tiongkok untuk mengembangkan kereta cepat, tak ada salahnya belajar dari Jepang tentang cara menjaga rekor keamanan Shinkansen, terutama dari bencana alam.
Kondisi geologi Indonesia mirip Jepang. Dua negara itu diimpit zona tumbukan lempeng benua, penyebab banyak gunung api aktif dan gempa bumi. Terkait bencana hidrometeorologi, jika Jepang rutin terancam angin topan, Indonesia rentan gerakan tanah.
Gempa dan longsor itu menjadi ancaman serius kereta cepat Jakarta-Bandung. Maka, antisipasi dua ancaman itu mesti jadi satu paket dengan pembangunannya. Apalagi, di jalur kereta itu akan dibangun kota-kota baru.
Menurut ahli bencana Surono, rel yang akan dibangun termasuk zona rentan longsor. Tanahnya lempung mengembang sehingga butuh rekayasa struktur agar bangunan aman. "Tanpa mitigasi longsor, ambruknya bangunan pada kasus Hambalang bisa terulang," ucapnya.
Ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menekankan pentingnya sistem peringatan dini gempa. Risiko gempa dari kereta cepat tak bisa diabaikan. "Bayangkan jika kereta cepat melaju, lalu ada gempa. Bisa berakibat kecelakaan fatal," ujarnya.
Kunci keamanan Shinkansen Jepang ialah, integrasi dengan sistem deteksi dini gempa, urgent earthquake detection and system (UrEDAS). Sistem yang dibangun sejak 1996 itu bisa mendeteksi dini gelombang gempa, mengirim informasinya ke stasiun kereta, lalu otomatis mengaktifkan sistem pengereman darurat.
Prinsipnya, gempa punya dua gelombang, yakni tremor pendahuluan atau gelombang-P (primary waves) dan gelombang-S (secondary waves). Begitu gempa, gelombang-P menjalar lebih cepat, 5 km per detik, sifatnya tak merusak. Adapun gelombang-S lebih lambat, 3 km per detik, tetapi amat merusak. Informasi dari gelombang-P menjadi dasar sistem informasi dini gempa (EEW). Semakin jauh lokasi dari sumber gempa, beda waktu kedatangan gelombang-S dan gelombang-P kian tinggi.
Deputi Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bidang Geofisika, Masturyono, mengatakan, ancaman gempa pada kereta cepat bisa dari sesar Cimandiri yang menerobos jalur itu, selain sejumlah sesar lokal lain. "Potensi gempa M 6 atau lebih kecil, tetapi amat dekat dengan obyeknya," katanya. Karena sumber gempa amat dekat, sistem EEW mungkin tak memadai untuk menghentikan kereta tepat waktu.
Ancaman gempa bisa dari zona subduksi kekuatan lebih dari M 8,5. Jarak sumber gempa jauh sehingga sistem EEW untuk pengereman darurat. "BMKG belum diajak bicara mengenai mitigasi gempa kereta cepat. Kami akan paparkan kajian awal risiko ke Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan," ujarnya.
Ada tiga alternatif pembangunan EEW di Indonesia tergantung anggaran BMKG. Pertama, pengembangan alat yang akan dihibahkan Jepang akhir 2016. "Meski ada alat hibah, EEW belum bisa beroperasi karena harus dilengkapi sistem otomatisasi," ujarnya.
UTAMAKAN KESELAMATAN..........!
Keluarga Anda Menanti di Rumah !

Juragan Warteg yang Juga Seorang Aktivis KA
Keluarga Anda Menanti di Rumah !

Juragan Warteg yang Juga Seorang Aktivis KA