08-09-2010, 11:20 AM
sepenggal sejarah pecel di kroya nih !
Pecel rangkulan, pecel rangkulan... monggo (silakan)….†Tidak perlu menengok keluar begitu mendengar kata â€Âpecel rangkulan†sebab kereta pasti tiba di Stasiun Kroya. Transaksi pun digelar, tidak hanya di pintu kereta, bila perlu lewat jendela.
Kapan pedagang pecel menjadi â€Âbumbu†keramaian di Stasiun Kroya, Cilacap, Jawa Tengah? Entahlah. Namun, diyakini, mereka ada sejak Stasiun Kroya beroperasi tahun 1887.
Sejatinya, pecel adalah makanan khas warga Kroya. Dan, jangan terheran-heran dengan istilah â€Âpecel rangkulan†karena rangkulan adalah akronim dari uRANG (rempeyek udang), seKUl (nasi), dan keLAN (sayur).
Lebar Atmojo (77), seorang pensiunan pegawai PT Kereta Api di Stasiun Kroya, punya cerita soal pecel kroya. â€ÂKepala saya pernah dijendul (didorong) tentara Jepang gara-gara minta duit. Tentara itu tak mau bayar pecel,†kata Lebar, Senin (23/8).
Pada hari itu, Lebar Atmojo berusia 10 tahun. Tiap hari dia membantu Yamini, neneknya, jualan pecel. Diakuinya, masa pendudukan Jepang merupakan masa tersulit sebab banyak dagangan pecel dirampas.
Namun, setelah kemerdekaan, pedagang pecel kembali banyak. Dulu, kata Lebar, Stasiun Kroya malah seperti pasar. â€ÂApalagi waktu sepurnya (lokomotif) masih uap. Lama berhentinya karena harus isi arang. Penumpang pun turun beli pecel,†kata dia.
Umumnya, pedagang pecel rangkulan adalah ibu-ibu usia 30-an tahun. Dagangan disunggi di atas kepala atau dijinjing di pinggang. Aneka makanan itu ditempatkan dalam tampah, ember, dan panci (tempat sayur).
â€ÂKalau kereta yang datang ekonomi atau bisnis, ya masuk ke dalam. Kalau keretanya eksekutif cukup di luar,†tutur Mbok Surip (63), salah satu pedagang pecel.
Laiknya pecel, komposisi utamanya sayuran diimbuhi sambal kacang. Namun, kekhasan pecel kroya adalah kecombrang atau honje (Etlingera elatior): sayuran dari sejenis tumbuhan rempah. Warnanya putih, kadang merah muda, wangi dengan rasa manis asam kenyal. â€ÂKarena kecombrang, orang ingat pecel kroya,†kata Wakil Kepala Stasiun Kroya Ibnu S Nugroho.
Pecel kroya dijual Rp 3.000 per pincuk (piring daun pisang). Cukup menambah Rp 1.000, sudah didapatkan pecel kroya komplet dengan rempeyek udang. â€ÂLauk ayam goreng juga ada, tapi harganya jadi Rp 5.000,†kata Ratmi, pedagang lainnya.
Menurut Ibnu, di Stasiun Kroya ada 50 pedagang asongan, 30 orang di antaranya berjualan pecel. Ada dua giliran pedagang: pukul 05.00-13.00 dan pukul 14.00-22.00.
Banyaknya pedagang pecel tidak lepas dari padatnya lalu lintas kereta di Kroya. Sejak tahun 1916, stasiun ini menjadi titik temu jalur rel Bandung-Yogyakarta-Surabaya dengan Jakarta-Cirebon-Yogyakarta-Surabaya.
Jumlah penumpang di Kroya juga tinggi. Tahun 2009 lalu, kata Ibnu, sebanyak 329.754 orang diberangkatkan dari stasiun ini. Itu setara dengan sekitar 25 persen dari total jumlah penumpang yang diberangkatkan dari seluruh stasiun di lintas rel Jawa Tengah selatan.
Ahli transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan, Hindia Belanda mengembangkan jalur rel Kroya-Purwokerto-Cirebon (1916) dan Kroya-Yogyakarta (1887) untuk mengangkut pekerja rodi dan buruh pabrik gula dari Cilacap, Kebumen, dan Kutoarjo.
Di samping itu, kereta api menjadi transportasi utama warga karena terbatasnya jalan sejak zaman penjajahan di Jawa bagian selatan. Dari dulu, jalan raya yang lebar hanya ada di wilayah utara, terutama Jalan Raya Daendels.
Tingginya minat masyarakat Cilacap terhadap kereta itulah yang membuat pecel kroya tetap bertahan sebagai menu khas.
Meskipun kini di area stasiun mulai bermunculan kedai-kedai masakan masa kini, pecel kroya dan romantismenya belum lekang. Mari para pemudik, silakan singgah di Stasiun Kroya. Monggo.... (M BURHANUDIN)
sumber kompas
Pecel rangkulan, pecel rangkulan... monggo (silakan)….†Tidak perlu menengok keluar begitu mendengar kata â€Âpecel rangkulan†sebab kereta pasti tiba di Stasiun Kroya. Transaksi pun digelar, tidak hanya di pintu kereta, bila perlu lewat jendela.
Kapan pedagang pecel menjadi â€Âbumbu†keramaian di Stasiun Kroya, Cilacap, Jawa Tengah? Entahlah. Namun, diyakini, mereka ada sejak Stasiun Kroya beroperasi tahun 1887.
Sejatinya, pecel adalah makanan khas warga Kroya. Dan, jangan terheran-heran dengan istilah â€Âpecel rangkulan†karena rangkulan adalah akronim dari uRANG (rempeyek udang), seKUl (nasi), dan keLAN (sayur).
Lebar Atmojo (77), seorang pensiunan pegawai PT Kereta Api di Stasiun Kroya, punya cerita soal pecel kroya. â€ÂKepala saya pernah dijendul (didorong) tentara Jepang gara-gara minta duit. Tentara itu tak mau bayar pecel,†kata Lebar, Senin (23/8).
Pada hari itu, Lebar Atmojo berusia 10 tahun. Tiap hari dia membantu Yamini, neneknya, jualan pecel. Diakuinya, masa pendudukan Jepang merupakan masa tersulit sebab banyak dagangan pecel dirampas.
Namun, setelah kemerdekaan, pedagang pecel kembali banyak. Dulu, kata Lebar, Stasiun Kroya malah seperti pasar. â€ÂApalagi waktu sepurnya (lokomotif) masih uap. Lama berhentinya karena harus isi arang. Penumpang pun turun beli pecel,†kata dia.
Umumnya, pedagang pecel rangkulan adalah ibu-ibu usia 30-an tahun. Dagangan disunggi di atas kepala atau dijinjing di pinggang. Aneka makanan itu ditempatkan dalam tampah, ember, dan panci (tempat sayur).
â€ÂKalau kereta yang datang ekonomi atau bisnis, ya masuk ke dalam. Kalau keretanya eksekutif cukup di luar,†tutur Mbok Surip (63), salah satu pedagang pecel.
Laiknya pecel, komposisi utamanya sayuran diimbuhi sambal kacang. Namun, kekhasan pecel kroya adalah kecombrang atau honje (Etlingera elatior): sayuran dari sejenis tumbuhan rempah. Warnanya putih, kadang merah muda, wangi dengan rasa manis asam kenyal. â€ÂKarena kecombrang, orang ingat pecel kroya,†kata Wakil Kepala Stasiun Kroya Ibnu S Nugroho.
Pecel kroya dijual Rp 3.000 per pincuk (piring daun pisang). Cukup menambah Rp 1.000, sudah didapatkan pecel kroya komplet dengan rempeyek udang. â€ÂLauk ayam goreng juga ada, tapi harganya jadi Rp 5.000,†kata Ratmi, pedagang lainnya.
Menurut Ibnu, di Stasiun Kroya ada 50 pedagang asongan, 30 orang di antaranya berjualan pecel. Ada dua giliran pedagang: pukul 05.00-13.00 dan pukul 14.00-22.00.
Banyaknya pedagang pecel tidak lepas dari padatnya lalu lintas kereta di Kroya. Sejak tahun 1916, stasiun ini menjadi titik temu jalur rel Bandung-Yogyakarta-Surabaya dengan Jakarta-Cirebon-Yogyakarta-Surabaya.
Jumlah penumpang di Kroya juga tinggi. Tahun 2009 lalu, kata Ibnu, sebanyak 329.754 orang diberangkatkan dari stasiun ini. Itu setara dengan sekitar 25 persen dari total jumlah penumpang yang diberangkatkan dari seluruh stasiun di lintas rel Jawa Tengah selatan.
Ahli transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan, Hindia Belanda mengembangkan jalur rel Kroya-Purwokerto-Cirebon (1916) dan Kroya-Yogyakarta (1887) untuk mengangkut pekerja rodi dan buruh pabrik gula dari Cilacap, Kebumen, dan Kutoarjo.
Di samping itu, kereta api menjadi transportasi utama warga karena terbatasnya jalan sejak zaman penjajahan di Jawa bagian selatan. Dari dulu, jalan raya yang lebar hanya ada di wilayah utara, terutama Jalan Raya Daendels.
Tingginya minat masyarakat Cilacap terhadap kereta itulah yang membuat pecel kroya tetap bertahan sebagai menu khas.
Meskipun kini di area stasiun mulai bermunculan kedai-kedai masakan masa kini, pecel kroya dan romantismenya belum lekang. Mari para pemudik, silakan singgah di Stasiun Kroya. Monggo.... (M BURHANUDIN)
sumber kompas
tidak terbayangkan keindahan trem uap ketika lalu lalang di bawah jembatan kereta api jatinegara
foto ane yang lainnya ada disini kang !
foto ane yang lainnya ada disini kang !