13-08-2008, 03:04 PM
Merdeka,Boeng!!!! Mari kita berbagi tjerita peristiwa tragedi Gerbong Maoet,Bondowoso-Soerabaja,28 December 1947,dimana 46 pedjoeang RI tewas kehaoesan dan lemas koerang zat lemas..........
Quote:Masih inget tentang film "kereta Api Terakhir" yang dibintangi Gito Rollies sebagai Sersan Tobing, dimana juga ada peran Kolonel Gatot Subroto yang dibintangi Sundjoto Adibroto dengan brilian. Dan ada kata-kata terkenal dari Gatot Subroto pada adegan itu : "Bacakan surat itu, kamu tahu aku kan buta huruf!!,...aku tidak bisa baca!!" Film Kereta Api Terakhir sebenarnya diilhami kejadian Gerbong Maut di Bondowoso, yang ceritanya jauh lebih mengerikan...begini ceritanya :
Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap TRI, lasjkar, gerakan bawah tanah dan orang-orang tanpa menghiraukan apakah yang bersangkutan berperan atau tidak dalam kegiatan perjuangan. Sehingga dalam waktu singkat penjara Bondowoso tidak mampu lagi menampung tahanan yang pada waktu itu mencapai ± 637 orang. Belanda bermaksud memindahkan tahanan yang termasuk "pelanggaran berat" dari penjara Bondowoso ke penjara Surabaya. Untuk mengangkut para tahanan tersebut digunakan sarana kereta api.
Setiap tahap pengangkutan memuat sebanyak 100 orang. Pemindahan pertama dan kedua berjalan dengan baik karena gerbong yang mengangkut tahanan diberi ventilasi seluas 10-15 cm. Namun saat pemindahan tahap ketiga, gerbong tertutup sangat rapat dan selama perjalanan rakyat tidak boleh mendekati gerbong. Akibatnya, semua tahan dalam gerbong menderita kelaparan dan kehausan. pPemindahan tahap ketiga inilah yang dikenal dengan sebutan "Gerbong Maut".
Setelah mendapat perintah langsung dari Komandan J Van den Dorpe, Kepala Penjara mengumpulkan semua tahanan yang telah tercatat namanya. Pada Sabtu, 23 November 1947, jam 04.00 WIB, tahanan yang tercatat dibangunkan secara kasar lalu dikumpulkan di depan penjara. Rincian tahanan adalah sebagai berikut: rakyat desa (20 orang), kelaskaran rakyat dan gerakan bawah tanah(30 Orang), anggota TRI (30 orang), dan tahanan rakyat serta polisi (20 orang). Pada jam 05.30 WIB tahanan tiba di Stasiun Kereta Api Bondowoso. Sebanyak 32 orang masuk gerbong pertama yang bernomor GR 5769; 30 oarang ke gerbong kedua yang bernomor GR 4416, sisanya berebutan masuk ke gerbong yang terakhir bernomor GR 10152 karena panjang dan masih baru.
Pada jam 07.00 WIB kereta dari Situbondo datang. maka, saat itu juga gerbong digandeng. Menurut Ru Munawar yang masuk gerbong pertama, setelah gerbong dikunci, keadaan menjdi gelap gulita dan udara terasa panas walaupun masih pagi. Jam 07.30 kereta bergerak menuju Surabaya. tepat di Satsiun Taman, mulai terjadi peristiwa memilukan, Kiai Samsuri 50 Tahun, membanting-bantingkan tubuhnya sambil berteriak kepanasan. Jangankan diisi 30 Orang, 10 orang saja sudah terbayang panasnya. gedoran-gedoran para tahanan sudah tidak digubris bahkan dijawab dengan bentakan pedas; "Biar kalian mapus semua, hai (â€¢ï¸¡ç›Šï¸ â€¢) ekstrim!, atau "Di sini tidak ada makanan dan air minum, yang ada cuma peluru".
Ketika tiba di Stasiun Kalisat, gerbong tahanan harus menunggu kereta dari banyuwangi. Selama dua jam para tahanan berada dalam terik matahari. Akhirnya pada jam 10.30 WIB kereta baru berangkat dari Jember ke Probolinggo. Setelah meningglkan Jember di siang hari, suasana gerbong bagaikan didalam neraka karena atap dan dinding gerbong terbuat dari plat baja.Banyak terjadi peristiwa diluar batas kemanusiaan, misalnya guna mempertahankan hidup dari kehausan sebagian para tahanan terpaksa meminum air kencing tahanan yang lainnya.
Mendekati Stasiun Jatiroto, Allah SWT menebarkan rahmat-NYA. Hujan yang cukup deras dimanfaatkan para tahanan yang masih hidup untuk meneguk tetes demi tetes air dengan menjilat tetesan air yang berasal dari lubang-lubang kecil.Tidak demikian halnya dengan gerbong ketiga GR10152. karena masih baru, para tahanan tidak mendapatkan tetesan air sedikitpun. Ketika sampai di Surabaya, dalam gerbong ketiga (GR10152) tidak ada satupun yang hidup.
Setelah menempuh perjalanan selama 16 jam, Gerbong Maut sampai di Stasiun Wonokromo. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Setelah didata, di gerbong I No. GR 5769 sebanyak 5 sakit keras, 27 orang sehat tapi kondisi lemas lunglai, Gerbong II No. GR.4416 sebanyak 8 orang meninggal, 6 orang sehat, dan di Gerbong III No. GR. 10152 seluruh tawanan sebanyak 38 orang meninngal semua.
Para tahanan yang sehat dipaksa menganggkut temannya yang sudah meninngal. Semua jenazah diletakkan secara sejajar. Setelah dievakuasi, lalu diangkut ke truk yang telah disediakan. Jenazah harus diangkut dengan sangat hati-hati sebab kalau tidak maka daging jenazah akan mengelupas akibat kepanasan.
<!-- m --><a class="postlink" href="http://kotabondowoso.blogspot.com/20...bong-maut.html">http://kotabondowoso.blogspot.com/20...bong-maut.html</a><!-- m -->
Adapun tambahan ceritanya dari saksi hidup Mas Suhadi :
DI JAWA TIMUR, PERISTIWA GERBONG MAUT BANYAK DIBICARAKAN ORANG, KHUSUSNYA PADA SAAT HARI-HARI BESAR NASIONAL. APA SEBETULNYA PERISTIWA GERBONG MAUT ITU? MAS SOEHADI (82 TAHUN), PELAKU SEJARAH, MENUTURKAN KESAKSIANNYA KEPADA SAYA DI SIDOARJO.
Oleh Lambertus L. Hurek
MAS SOEHADI, yang tinggal di RT 3/RW 1 Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo, termasuk salah satu dari 100 penumpang 'gerbong maut' dari Bondowoso ke Surabaya pada 28 Desember 1947. Aksi ini merupakan lanjutan dari Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Belanda berusaha memperhalus kekejamannya dengan istilah 'aksi polisionil'.
Dus, tindakan kepolisian untuk menertibkan para pelaku kejahatan. "Kami yang seratus orang itu dicakup, ditawan, dan dimasukkan di tiga gerbong kereta api," kenang pria kelahiran Kediri, 28 April 1923 ini. Tentara Belanda sangat ngawur. Siapa saja dirazia, khususnya para pemuda yang punya potensi memberontak. Nah, MAS SOEHADI, waktu itu 20-an tahun dan bekerja di kawasan Sukosari, Bondowoso, ikut ditangkap. Di tengah teror mental yang luar biasa, mereka dimasukkan ke dalam TIGA GERBONG.
"Setelah semuanya masuk, pintu gerbong ditutup rapat. Tidak ada penerangan, pengap sekali. Anak-anak, kalian bisa bayangkan apa yang terjadi saat itu," kata MAS SOEHADI. Eyang SOEHADI menduga, kebijakan mengurung 100 tawanan itu dilakukan untuk menghindari intaian para gerilyawan RI. Sebab, waktu itu
gerilyawan tersebar di mana-mana, khususnya di hamparan sawah dekat rel kereta api. Jika ketahuan kalau gerbong itu berisi perjuang RI, hampir pasti gerilyawan tak akan tinggal diam.
"Gerbongnya hanya dibuka sebentar di stasiun, terus tutup lagi," kata ayah tiga anak ini. Pengapnya udara, akumulasi gas karbondioksida, ditambah desak-desakan yang ekstrem, tak ayal membuat sebagian tawanan meregang nyawa. Satu per satu tawanan, ya, kawan-kawan Eyang Soehadi, meninggal di dalam gerbong. Mati lemas! Sampai di Surabaya--mula-mula di Stasiun Wonokromo, Surabaya, baru diketahui kalau 46 pejuang RI tewas. Dan, Eyang Soehadi termasuk dalam bilangan 54 tawanan yang selamat.
"Saya sendiri heran, kok bisa selamat. Mungkin, takdir saya belum sampai," katanya. Gaya bahasa dan pola pikir pria sepuh ini masih runtut dan sistematis. Eyang Soehadi dan kawan-kawan kemudian diangkut ke penjara militer di Jalan Bubutan Surabaya. (Penjara bersejarah itu sekarang tak ada lagi.) Dua tahun lamanya, Eyang Soehadi mendekam di dalam penjara tanpa tahu apa kesalahannya, tanpa ada proses pengadilan sedikit pun. Ketahuan kalau 'Aksi Polisional' I itu hanya akal-akalan Belanda untuk merampok kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 November 1949, Eyang Soehadi dan kawan-kawan dibebaskan. "Saya masih ingat, kami dikeluarkan pada tanggal 22 November 1949," tutur Mas Soehadi.
NYARIS MATI LEMAS DALAM KASUS 'GERBONG MAUT' PADA 28 DESEMBER 1947, MAS SOEHADI TAK MENDAPAT APA-APA. TANDA JASA NIHIL. PENGHARGAAN SEBAGAI VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN PUN TAK. TAPI, SOEHADI MERASA BANGGA KARENA DITAKDIRKAN TUHAN MENJADI SALAH SATU PELAKU SEJARAH DI REPUBLIK INI.
"NAK, umur kami-kami ini sudah sedikit. Sebentar lagi juga habis. Mau minta apa lagi?" ujar Soehadi kepada saya. Bahwa ia selamat, padahal 46 orang pejuang tewas di dalam gerbong karena kehabisan oksigen, sudah menjadi hadiah tersendiri dalam hidupnya. Eyang mengaku peristiwa tragis puluhan tahun silam itu sering muncul di benaknya.
"Kok bisa-bisanya saya selamat? Ini pasti karena kehendak Gusti Allah," kata pria kelahiran Kediri, 28 April 1923 itu. Kini, generasi '45 macam Eyang Soehadi surut satu per satu. Tugas mengisi kemerdekaan--yang tak kalah berat dibanding merebut kemerdekaan--diteruskan oleh generasi baru. Apakah ia frustrasi melihat bangsa kita yang tidak maju-maju, sarat KKN, rakyatnya menjadi TKI di negara lain?
"Oh, tidak boleh frustrasi. Kalau frustrasi atau kecewa, bisa-bisa kita apatis dan tidak berjuang lagi," tandas pria yang tinggal di Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo, ini dalam nada tinggi. Menurut dia, ada tiga hal mendesak yang harus diperhatikan oleh para pemimpin bangsa sekarang. Pertama, pengangguran yang semakin meluas.
Pemerintah harus bisa menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya agar semua warga negara Indonesia bisa bekerja. Ini paling prinsip, katanya.
Tingkat pengangguran yang tinggi--dan naik terus dari tahun ke tahun--hanya akan menimbulkan kekecewaan dan frustrasi di kalangan anak-anak muda. Buat apa sekolah, jadi sarjana, kalau nanti toh tidak bisa bekerja? Kriminalitas sudah pasti meningkat manakala jumlah penganggur terlalu banyak.
Kedua, pembenahan ekonomi. Mas Soehadi mengaku sangat prihatin karena nilai tukar mata uang kita (rupiah) sangat rendah. Uang Rp 10 ribu, bahkan Rp 100 ribu, sepertinya tak punya harga lagi. Nilainya terus merosot, sementara penghasilan warga tidak banyak meningkat.
Ketiga, pendidikan. Sejelek-jeleknya pemerintahan negara di Eropa atau Amerika, kata Eyang Soehadi, sektor pendidikan sangat diperhatikan. Warganya mendapat pendidikan optimal dengan biaya murah, bahkan gratis. Komersialisasi pendidikan praktis tidak ada di negara maju.
"Kalau tiga hal ini tidak diperhatikan para calon presiden atau pemerintah, sulit bagi kita untuk maju," tandas Soehadi. Bagaimana dengan korupsi? "Wah, itu lagi. Korupsi itu yang merusak bangsa kita," pungkasnya.
<!-- m --><a class="postlink" href="http://hurek.blogspot.com/2007/01/pe...-desember.html">http://hurek.blogspot.com/2007/01/pe...-desember.html</a><!-- m -->
cerita Gerbong Maut ini membuktikan bahwa Belanda sama sekali belum sadar dan tidak merasa berdosa. Belum ada permintaan maaf Belanda terhadap kasus ini. Ini sudah kejahatan internasional dan mustinya secara resmi Belanda meminta maaf apa yang terjadi di Indonesia.
Anton Anticelli