08-09-2009, 01:28 AM
JR ke jakarta lewat MR kejauhan kecuali kalau jalur gempol-ngoro-mojokerto hidup lagi.
Balik ke BIMA lagi ah,
nih saya nemu artikel ttg selimut KA BIMA,
Quote:selimut bimasumber:
Darsina
Kamis, 13 Agu '09 15:47
Saya kira, kita dan hanya kita yang bisa menolong bangsa kita keluar dari kertepurukan dan kertegantungan berkepanjangan pada bangsa asing. Dan itu harus dimulai, baik oleh diri sendiri, keluarga, tempat kerja, terlebih lagi BUMN maupun, tentu saja, pemerintah di semua level.
oleh irfan darsina
Rabu (12 Agustus) sore, saya berangkat ke Surabaya naik kereta api Bima. Kereta meninggalkan stasiun Gambir, Jakarta, pukul 17.15, telat 15 menit dari jadwal. Masih mending telatnya tidak lebih dari 1 jam, seperti sering terjadi pada KA ekonomi Penataran yang biasa saya tumpangi juusan Malang - Surabaya.
Saat saya mulai menulis note ini, kereta baru saja meninggalkan stasiun Cirebon. Jam menunjuk angka 20.20. Beberapa menit sebelumnya saya sempat tertidur, dan terbangun saat kereta berhenti di stasiun utk menurunkan dan menaikkan penumpang. Saat kereta mulai bergerak, saya naikkan selimut untuk menutupi dada. Udara terasa makin dingin menusuk kulit saya yang hanya mengenakan kaos oblong dan lupa membawa jaket. Saat tangan saya menaikkan selimut itu, jari-jari saya menyentuh bagian selimut, quilt, yang agak keras. Dengan rasa ingin tahu saya dekatkan bagian yang teraba jari tadi ke depan mata, dan tiba2 saya ingat mantan capres Jusuf Kalla. Apa hubungan selimut Bima dg Pak Jusuf Kalla?
Sabar, saya ingin deskripsikan dulu selimut yang disediakan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai fasilitas untuk penumpang ini. Selimut ini unik. Di bagian tertentu dipasangi risleting. Saat tidak digunakan, selimut dilipat kemudian dikunci dengan risleting itu, sehingga tinggal sebentuk bantal anak kecil. Saat akan digunakan, risleting dibuka, dan selimut pun merak. Praktis memang. Anda yg biasa naik kereta Bima tentu familiar dg selimut ini.
Nah kembali ke bagian selimut yang agak keras yang terpegang tangan saya tadi. Oya selimut ini lembut sehingga saat terpegang bagian yang keras, rasa heran saya langsung bereaksi. Ternyata itu sulaman yang ada di salah satu bagian selimut. Ada tiga sulaman.
Pertama sulaman lambang PT. Kereta Api Indonesia (Persero).
Kedua, sulaman logo restoka.
Ketiga sulaman cap atau merek pembuat selimut.
Dan, olala, di situ tertulis begini: Quilting by HILON, Korean Brand Since 1970.
Itu sebabnya saya tiba2 ingat mantan capres Jusuf Kalla. Bayangan saya, jika beliau yang skrg masih menjabat sbg Wapres ini mengetahui utk sekadar selimut saja, sebuah BUMN ternyata memakai produksi LN, maka pastilah beliau akan menegur manajemen PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Lha po pake produksi LN sedang industri garmen atau pabrik tenun kita pasti mampu membuat produk serupa. Soal harga tentu harus bersaing.
Sekarang mari kita berhitung. Saya taksir harga selimut ini sekitar Rp 100 ribu per lembar. Ini taksiran yang abitrer. Satu gerbong Bima berisi 50 seat. Satu rangkaian kereta Bima berisi rata-rata 8 gerbong. Jadi satu rangkaian kereta Bima berisi sekitar 400 seat. Utk satu rangkaian kereta Bima yang saya tumpangi ini, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) hrs mengalokasikan anggaran selimut sekitar Rp 40 jt.
Kita tahu, pada saat yang sama, ada rangakaian KA Bima lain yang sedang melaju dari Surabaya menuju Jakarta. Alhasil, ada dua rangkaian kereta Bima. Rangkaian kereta Argo Bromo ada empat. Rangkaian kereta Turangga, Taksaka, Argo Lawu, Argo Sindoro, Argo Wilis, masing2 dua. Secara hitungan kasar, ada ribuan seat kereta eksekutif yang difasilitasi selimut. Saya tidak tahu, tetapi jika ada 2.500 seat yang dilengkapi selimut, maka PT. Kereta Api Indonesia (Persero) minimal menyediakan anggaran Rp 250 jt utk beli selimut doang.
Saya juga tdk tahu apakah semua kereta eksekutif menggunakan selimut buatan
Korea itu? Kalau iya, berarti sekitar US$ 25 ribu devisa dihamburkan hanya utk selimut, yg perusahaan garmen ato pabrik tekstil mana saja di Tangerang, Bandung, Tasikmalaya, Surakarta, atau Bangil, bisa membuatnya.
Sebentar, ini bukan soal nilai yg 'hanya' US $ 25 ribu itu semata. Ini soal rasa kebangsaan yang mestinya dimiliki oleh setiap insan Indonesia, terlebih pengelola BUMN, terlebih lagi di tengah krisis finansial global yang semua negara melakukan proteksi scr bervariasi. Dan, satu hal pasti, US$ 25 rb itu setara dengan jatah tempe 100 ribu KK miskin di tanah air.
Dalam situasi krisis seperti skrg, kesadaran utk mengutamakan produk dalam negeri, terutama utk produk yg bisa dibuat bangsa sendiri, saya kira, tak bisa ditawar2. Itulah langkah minimal yg bisa kita lakukan, seraya terus berupaya sebagai bangsa membuat produk2 teknologi canggih atau menggunakan perangkat teknologi canggih, seperti panser buatan pindad, kapal buatan pt pal, obat buatan Indofarma, jamu buatan Sidomuncul, dan mungkin juga bertransaksi di bank-bank BUMN atau swasta nasional (bukan bank swasta asing yang sekarang menjamur di Indonesia, ibarat jerawat di musim puber).
Saya kira, kita dan hanya kita yang bisa menolong bangsa kita keluar dari kertepurukan dan kertegantungan berkepanjangan pada bangsa asing. Dan itu harus dimulai, baik oleh diri sendiri, keluarga, tempat kerja, terlebih lagi BUMN dan Instansi pemerintah.
Sebab, kalau bukan kita, siapa lagi?
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
####My online hours : Saturday PM - Sunday AM/PM####