Semboyan35 Indonesian Railfans

Full Version: Transportasi Massal Versus Kemacetan
You're currently viewing a stripped down version of our content. View the full version with proper formatting.
Pages: 1 2 3 4 5 6 7 8
ada artikel menarik dari

Quote:Transportasi Massal Versus Kemacetan
Selasa, 16 Februari 2010 | 03:11 WIB


Oleh HARYO DAMARDONO

”Light rail transit (kereta) ini merupakan contoh lain pembangunan di Malaysia,” kata Sazally Saidi, Chief Executive Officer Lingkaran Trans Kota Holdings Berhad. Saidi adalah CEO perusahaan jalan tol, sementara light rail transit merupakan ”saingan” jalan tol. Bukan masalah.

Pada Desember 2009, Saidi memperlihatkan sistem jaringan jalan tol dalam Kuala Lumpur, Malaysia, mendatangi pusat pemantauan tol, dan mencermati sistem elektronik tol. Bagaimana pengoperasian jalan tol di sana.

Kuala Lumpur juga macet. Perlu dua polisi lalu lintas pembuka jalan. Waktu yang masih ada, membuat Saidi perlu memperkenalkan light rail transit (LRT) kepada Kuala Lumpur Convention Center.

Perjalanan dimulai dari emplasemen Stasiun LRT Kelana Jaya. Konstruksinya sebangun dengan Stasiun Gambir dan Cikini, sama-sama elevated, tetapi lebih bersih, lebih terang, dan kedatangan kereta lebih pasti.

Di emplasemen Stasiun Kelana Jaya itu, masyarakat berbaur. Ada buruh, mahasiswa, pasangan suami istri dengan empat anak, turis beransel, serta seorang pramugari AirAsia yang menyeret kopernya. Maukah seorang pramugari naik kereta rel listrik di Jakarta?

LRT canggih. Melaju tanpa masinis, seperti kereta antarterminal di Bandara Changi, Singapura, atau Bandara Barajas di Madrid, Spanyol. LRT Kuala Lumpur buatan Bombardier.

LRT ini bukti nyata pembangunan transportasi massal Kuala Lumpur. Terlebih, pada pagi dan petang hari, kemacetan menghantui jalan tol. ”Seperti di Jakarta, kami repot oleh keluhan pengguna tol. Mereka protes mengapa macet meski sudah membayar tol,” kata Manager Traffic Safety Lingkaran Trans Kota Sdn Bhd Nor Azman bin Ishak.

”Karena sering macet, kami setuju transportasi di Kuala Lumpur tak mungkin lagi tol, tetapi transportasi massal seperti LRT. Jalan tol lebih untuk lintas antarnegara bagian,” kata Dato’ Ismail bin Md Salleh, Direktur Jenderal Lembaga Lebuhraya Malaysia.

Enam tol dalam kota

Di Indonesia, Lembaga Lebuhraya Malaysia adalah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Mungkinkah seorang Kepala BPJT menyatakan bahwa tak layak lagi dibangun tol tambahan di Jakarta? Atau, mungkinkah presiden direktur perusahaan jalan tol mengajak naik kereta yang merupakan ”musuh” jalan tol?

Faktanya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta makin berhasrat menuntaskan enam ruas tol dalam kota, yakni Kemayoran- Kampung Melayu (9,646 km), Duri Pulo-Tomang-Kampung Melayu (11,38 km), Rawa Buaya-Sunter (22,8 km), Sunter-Pulo Gebang (10,8 km), Pasar Minggu-Casablanca (9,55 km), dan Ulujami-Tanah Abang (8,26 km).

Ketika seruan penolakan bermunculan, suara-suara tersebut lenyap. Padahal, suara-suara itu menyodorkan bukti negatif tol dalam kota, mulai dari polusi, pemborosan bahan bakar, hingga hilangnya ruang-ruang publik.

Padahal, perjumpaan dengan Dato’ Ismail bin Md Salleh, Sazally Saidi, dan Nor Azman bin Ishak sebenarnya meneguhkan pengalaman Seoul (Korea Selatan) dan Boston (Amerika Serikat). Hipotesis Seoul dan Boston malah ”hancurkan jalan tol dan bangun lebih banyak transportasi massal di sebuah perkotaan”. Seperti Kuala Lumpur, dua kota itu melihat tol tak mampu mengurai kemacetan.

Bagaimana bila transportasi massal tak cepat dibangun di kota-kota kita? Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memprediksi, kemacetan total tidak hanya di Jakarta. Namun, juga Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan Semarang satu per satu macet total tahun 2015-2025.

Mengapa? Sekretaris Jenderal MTI Danang Parikesit mengatakan, ”Tak ada kebijakan koheren, tidak ada prioritisasi. Bangun transportasi massal iya, bangun jalan juga iya.”

Padahal, menurut dia, kemacetan total di sejumlah kota besar mengancam perekonomian. Kerugiannya juga tidak sedikit, tahun lalu Bandung merugi Rp 4,91 triliun akibat macet.

Sementara pakar lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Dr Firdaus Ali, Msc, pada Desember 2009 mengatakan, kemacetan di seluruh pelosok Jakarta mengakibatkan kerugian seluruh warga mencapai Rp 28,1 triliun per tahun.

Dari total kerugian itu, kerugian akibat bahan bakar minyak yang terbuang percuma mencapai Rp 10,7 triliun, waktu produktif yang hilang Rp 9,7 triliun, kerugian pemilik angkutan umum Rp 1,9 triliun, dan kerugian kesehatan Rp 5,8 triliun.

Jadi, dari angka kerugian tadi, yang kini dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu berpikir dengan kepala dingin. Mengalkulasikan pertumbuhan jalan dibandingkan dengan kendaraan, lalu mencari jalan keluar terbaik dengan menetapkan transportasi massal apa yang dibangun. Bagaimana pembiayaannya?

Perancang Metro atau subway Washington DC, Warren Quenstedt, pada tahun 1960 mulai membangun jaringan transportasi dengan pertanyaan, ”kota macam apa yang ingin kita miliki?”

Jadi, kota macam apa yang ingin kita miliki? Kota dengan transportasi massal yang mumpuni sehingga kota-kota menjadi ”ramah”, atau konsep ”usang” yang memprioritaskan pembangunan tol dalam kota?
jaringan rel kita nggak nambah-nambah..Monorail, MRT masih impian...
jalan tol tidak mengatasi Masalah
Pembuatan jalan tol berarti hanya memindahkan kemacetan ke tempat yg laen yg ga da sisi ramah lingkungan karena pencemaran. Saya ingin mengajak para Railfans utk bs membuka mata para pejabat di Dishub, PU dll agar mereka tdk mnguntungkan bwt diri sndiri ato yg lain tp menguntungkan para pengguna jalan khususnya yg biasa memakai kreta baik MRT monorel dll. bahwa dgn kereta lingkungantidak tercemar.
Ternyata jalan tol tidak menyelesaikan masalah untuk kemacetan, malah nambah masalah. Kenapa di Indonesia sangat menggebu-gebu bikin jalan tol?
Sudah jelas di Negara tetangga ajah mulai pindah pada angkutan masal. disitu disebutkan jalan tol adalah konsep usang yang hanya bisa mengatasi kemacetan sesaat. Selanjutnya ya macet lagi. Kan di Jakarta sudah terjadi, waktu tol dalam kota pertama jadi jakarta kelihatan lancar, tapi apa yang terjadi sekarang? Macet lagi. Dulu tol Jakarta Tangerang waktu pertama jadi juga lancar golencar... tapi bagaimana sekarang? sudah tau jawabannya .... macet lagi.
Waduh...ini topik pembahasan yang sudah saya ketahui 10 tahun terakhir...dan nggak ada habisnya. Kalau KA komuter seperti KRL pingin dimodel seperti Malaysia, ya hapus aja KRL ekonominya. Jadi semua KRL ber-AC, dan harus ada zero tolerance buat ketidak tertiban di stasiun-stasiunnya.

Kedengaran kontroversial, tapi dengan KRL ber-AC semua, saya yakin banyak pengguna jalan raya beralih ke KRL. Alasannya banyak pengguna jalan ingin kenyamanan tempat ber-AC, tapi pingin bebas macet.

Di Malaysia, KRL berhenti di semua stasiun, tapi ber-AC semua (termasuk LRT dan bus).
yang membuat saya tertarik adalah hipotesis seoul dan boston, yang menyarankan pembongkaran jalan tol dan menggantinya dengan transportasi massal berbasis rel sepertinya bertentangan 180 derajat dengan hipotesis dahlan iskan yang justru ingin mencabuti seluruh rel ka untuk di ganti dengan jalan tol.
Kalau boleh tau di Malaysia orang2 bergengsi itu ada seberapa banyak sih??? Dengan beralih ke moda transportasi massal seperti LRT di antaranya, apakah mampu menghapus orang bergengsi yang notabene identik dg mobil pribadi disertai sopir pribadi mrk? Maksud aku di Malahsia yah... Backpacker, orang kantoran berkemeja dan orang kantoran berjas dg setelan dasinya lebih banyak mana dalam kurun waktu 5 hari seminggu di Kuala Lumpur emangnya? Pengecualian hari libur kerja pasti dipenuhi mrk yg menyertakan ayah ibu dan anak mrk yah...

Padahal khususnya di Jakarta tiada kekurangannya... Turun di Cikini deket Planetariun. Turun di Tn. Abang deket pabrik tekstil atau pun pasar bergengsi kelas Asia. Turun di Beos deket Museum Fatahillah. Seenggaknya biar kata enggak menikmati seisi museum2 yg ada, tapi khan mrk punya taman yang luas di pekarangan luar museum. Bisa sgb obyek wisata... Tapi notabene... mrk datang dg busway, mobil pribadi yg diparkir di area silang Monas. Mobil diparkir di area Senayan. Jarang sekali yg datang dg transportasi massal kyk KRL yah...

@dana,
busway memberikan akses poin yang lebih banyak dan bervariasi ketimbang krl. kalo dilihat peta jakarta, kawasan2 penting jakarta hanya dilalui oleh beberapa stasiun krl. yang paling mencolok ya kawasan sudirman thamrin itu yang hanya punya stasiun sudirman saja.

busway? perhatikan semua koridor busway, 90 % melewati kawasan penting mulai dari cbd, perniagaan, rekreasi, pemukiman, terminal bus, dll. sebenarnya kalau jalurnya bisa steril 100%, saya jamin jakarta gak butuh mrt. cukup busway saja. nyatanya tidak demikian.

idealnya, seluruh koridor busway diganti oleh mrt. cuma kumpulkan dulu 50 tril buat merealisasikannya. hehehe...
klo jalan tol kan masukannya bnyk tuh, dr Pajak kendaraan, pabrik ban, olie, mobil, spare part, dll tp klo berbasis rel cuma beberapa departemen aja yg dapet. sy kepikirian gmn klo jalur bus way diganti pake tram, trus si jalan betonnya dibongkar ganti rumput, sy yakin jalurnya g akan diserobot oleh pemakai jalan lain dan waktu tempuh bisa cepat. sy jd inget ada seorang pedagang asongan di KA Serayu dia bilang " Maju atau ngga nya suatu negara mesti lihat dari transportasi masalnya, dan Kereta Api salah satunya yang mencerminkan kemajuan suatu bangsa tsb"
Pages: 1 2 3 4 5 6 7 8